Boalemo Torang Pe Rumah

                                                                            Penulis: Hamid Tane

HARIANPOST-(Boalemo)-Hari ini 12 Oktober 22 tahun silam, animo masyarakat di jazirah barat Gorontalo yang sudah cukup lama terpasung oleh sentralistik orde baru, akhirnya terwujud. Sujud syukur dan air mata haru menyatu dalam euforia bahagia pesta rakyat menyambut pembentukan Kabupaten Boalemo (UU No. 50 Tahun 1999). Tanggal inilah kemudian menjadi konsensus hari lahir Kabupaten Boalemo yang setiap tahunnya diperingati.

Diawali pengangkatan penjabat Bupati masa jabatan 1999 – 2001, serta pengisian keanggotaan DPRD hasil pemilu 1999 masa bakti 2000 – 2004 (UU No. 10 Tahun 2000). Dari sini bab baru Kabupaten Boalemo di mulai. Fasilitas dan manpower yang masih terbatas menghadang obsesi di awal kiprah, namun gebu akselerasi memantik spirit gaspol membonsai rintangan dalam mengejawantahkan khitah perjuangan. Sesuatu yang sulit bukan berarti mustahil, mungkin itu mindset para tokoh peletak dasar, the founding fathers Boalemo.

Bagaimana tidak bangunan sederhana KPN yang dialihfungsikan sebagai Kantor DPRD menjadi sarana legislatif dan eksekitif merumuskan dan menetapkan Pola Dasar Pembangunan Daerah yang kemudian menjadi konstruksi kokoh pondasi rumah Boalemo. Di gedung ini DPRD menyelenggarakan pesta demokrasi, sebelum sistem Pilkada di amendemen ke format baru oleh dinamika reformasi. Parlemen Boalemo yang kala itu memiliki 4 fraksi; Fraksi Partai Golkar, Fraksi Bintang Perjuangan, Fraksi Persatuan Demokrasi dan Fraksi TNI/Polri melaksanakan pemilihan Bupati/Wakil Bupati pertama (UU No. 22 Tahun 1999).

Setelah merampungkan tahapan penyaringan, Panitia Pemilihan DPRD merekomendasikan 3 pasang bakal calon untuk ditetapkan menjadi pasangan calon kontestan yang bersaing mendulang suara wakil rakyat representasi 5 partai politik; Golkar, PDIP, PPP, PBB, dan PPDI plus utusan TNI/Polri. Pemilihan yang di gelar quorum dalam Rapat Paripurna Khusus Tahap I, kemudian memberikan 22 suara dari 25 Legislator pemilih untuk paslon H. Iwan Bokings dan MK. Dalanggo periode 2001 – 2006 (kedua tokoh telah mangkat).

Seolah ada kharisma figur di internal Dekab yang di segani dan di taati Aleg di balik kemenangan telak tersebut, padahal sistem pasar bisa saja mempengaruhi. Alih – alih terpapar virus money politic, idealisme wakil rakyat Boalemo sepertinya sudah di vaksin. Integritasnya sangat loyal pada kharisma sosok “King maker”. Arsitek paket calon yang di usung FPG ini, perannya tidak lagi abstrak di belakang kandidat terpilih. membuat kalkulator politik tidak lagi diperlukan, karena kontestasi saat itu sangat mudah di rabah endingnya.

Sosok plegmatis ini juga berperan dalam solusi damai yang melegitimasi Tilamuta sebagai ibukota, serta sederet amal jariah lainnya yang enggan di publish oleh politisi low profile seorang Empu Boalemo H. Nizam Dai. Di gedung ini pula Lambang Kabupaten Boalemo diPerdakan, lambang yang memuat identitas daerah ini sebelumnya disayembarakan.

Dari sejumlah peserta dalam dan luar daerah yang mengikuti, pemenang sayembara adalah putra Tilamuta. Logo made in Tilamuta yang di lukis di balik kaca tersebut, somoga saja masih tersimpan. Gedung yang menjadi saksi bisu kisah awal hijrah Boalemo, kini hanya menyisahkan tembok hitam pasca terbakar. Baper bagaimana kemudian bangunan bekas rumah rakyat yang menyimpan kisah lawas, saat ini berdiri hampa seakan sedang mengemis memelas nurani kita.

Menoleh perjalanan usia tentunya tidak sedikit risalah histori yang tercipta dalam track record Boalemo, kelak sebagai lektur untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan generasi. Diantaranya adalah kisah win – win solution polemik ibukota yang melahirkan resolusi bijak pemekaran Kabupaten Pohuwato (UU No. 6 Tahun 2003), imbas pasal kontroversi yang meninggalkan residu. Nyaris merobek persaudaraan Tilamuta dan Marisa, juga deskripsi lainnya tentang narasi yang di suplai oleh waktu. Prihatin the untold story itu hanya tersimpan dalam buku kosong yang tidak bertuan.

Tidak pentingkah literatur seperti ini dijadikan arsip daerah?, bila pengetahuan jadi patokan, apakah pertanyaan relevan ini perlu ada?. Naif tolereir kalau menganggap ini sepele. Dalam dimensi waktu bisa jadi generasi alfa tidak tahu, bahkan tidak akan pernah tahu sejarah lahirnya “Si bayi ajaib” (julukan Boalemo), karena tidak menemukan referensi untuk di baca. Di sini esensinya pertanyaan di atas. Trenyuh ketika generasi kita sia – sia membuang energi hanya untuk menyusuri sejarah dalam dokumen ilusi reflektor fatamorgana. Zonk lantaran informasi edukasi yang tersumbat.

Kita yang abai keturunan kita yang menuai, simbiosis amensalisme. Simbion yang memprovokasi si Malin untuk balik mengutuk, karena bukan mustahil satire akan terucap dari anak cucu kita. Mestinya konsekuensi kausalitas tidak harus terjadi, sebab Boalemo memiliki Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Metafora kambing hitam tidak penting di cari, mencatat kisah dalam bab yang belum di tulis itu lebih penting.

Membukukan sejarah fardhu di lakukan sebagai apresiasi atas warisan yang saat ini bersama kita nikmati yang merupakan buah manis pengorbanan mereka yang telah mewakafkan tenaga, pikiran, bahkan ongkos sendiri. Berjuang untuk mewujudkan hasrat masyarakat 5 kecamatan; Popayato, Marisa, Paguat, Tilamuta dan Paguyaman yang mendambakan wilayah kerja Bupati wilayah IV ini (Permendagri No. 132 Tahun 1978), menjadi daerah administratif mandiri.

Walakin logika menganggap ekspektasi tersebut impossible, karena saat itu reformasi sedang dalam transisi pasca turbulensi masa reformis. Usaha tidak mengkhianati hasil, kekuatan doa dan konsistensi perjuangan untuk menggapai cita – cita luhur kemudian di genggam. Keberhasilan ini, juga berkat partisipasi solidaritas warga rantau yang bermukim di Jakarta, namun perjuangan kolektif itu tidak viral di linimasa. Blur karena kita juga lupa memberikan award terhadap kontribusi mereka yang telah mengantar kita ke depan pintu rumah impian yang bernama Kabupaten Boalemo.

Seiring langkah waktu kabupaten yang mendunia dengan destinasi wisata Pulo Cinta ecoresort yang berbentuk hati ini, sejak pemekaran telah melaksanakan 4 kali Pilkada dengan implementasi regulasi yang berbeda. Pilkada perdana di gelar dalam Rapursus DPRD, sementara Pilkada langsung oleh rakyat dilaksanakan semenjak periode kedua panggung politik Boalemo.

Episodenya adalah; 2001 – 2006 yang terpilih telah di sebut di awal artikel. Kurun 2007 – 2012 diikuti 2 paslon, yang terpilih duet Ketua DPD Partai Demokrat Gorontalo dan Ketua DPC PDIP Boalemo, yaitu H. Iwan Bokings dan H. La Ode Haimuddin (ILHAM). Era 2012 – 2017 Ketua DPD Golkar Boalemo beda periode H. Rum Pagau dan H. Lahmudin Hambali (PAHAM) mengalahkan 3 pasang calon rivalnya.Periode 2017 – 2022 semula diikuti 3 paslon, namun incumbent dibatalkan oleh MA, sebab pelanggaran kebijakan mutasi pejabat. Klimaksnya 2 paslon dari jalur independen adu bersaing dan kandidat yang terpilih H. Darwis Moridu dan H. Anas Jusuf (DAMAI).

Dalam segmen kalender berbagai prestasi regional dan nasional telah di raih oleh para pemimpin pada zamannya masing – masing. Aktualisasi leadership yang cerdas. Bukan hanya torehan prestasi, masyarakat juga kemudian mengenyam progresivitas daerah yang berubah signifikan. Potret transformasi yang layak diacungi 2 jempol.
Dalam dekade terakhir Tilamuta menjadi magnet bagi perantau nusantara. Migrasi penduduk yang multi etnik menjadikan Tilamuta semakin hidup dengan mobilitas warganya. Sisi plusnya diversitas bukan hanya mewarnai khazanah budaya, tapi ragam usaha kultur pendatang telah mengintervensi geliat perniagaan yang turut mendongkrak perekonomian lokal sebagai dampak positif hukum ekonomi.

Fasilitas ibadah yang representatif adalah refleksi slogan Bertasbih, brand identity daerah ini. Bangunan Masjid besar Baturrahman pasca di renovasi, saat ini berdiri megah dan ekslusif bergaya ala Madinah modern. Memikat mata dan telunjuk untuk mengagumi, sayang rancangan masjid yang menyuguhkan keindahan karya seni arsitektur ini pesonanya tidak di tunjang oleh desain landscape. Kendati rencana awal renovasi bangunan inheren dengan perluasan area, tetapi realisasinya terpaksa tertunda, sebab para inisiatornya harus mengakhiri periode jabatan.

Bahagia jika kemudian perampungan dan penataan pelataran adalah keniscayaan, karena masjid yang berlokasi di sentral Tilamuta ini merupakan masjid tua yang konon di bangun secara adat oleh orang tua kita tempo doeloe.
Tidak perlu ambyar sobat, afdol bila kita berkongsi ibadah dan berbagi pahala dengan para perintisnya. Kalau mereka yang memulai, maka kita yang akan merampungkan dan memakmurkannya, diaminkan ya guys.

Terdapat OPD yang belum memiliki kantor sendiri adalah durja asa yang mendambakan atensi TAPD dan Banggar. Gedung bukan bekas pakai Puskesmas Tilamuta disarankan menjadi kantor OPD. Bangunan baru tersebut tidak bisa dipaksakan untuk Puskesmas, sebab ironi biaya kesehatan gratis tapi ongkos transportnya membebani. Bukankah lebih baik bila kita tidak meninggalkan Puskes yang dulu menjadi Rumah Sakit Tilamuta yang di bangun tahun 1949 oleh Prof. Dr. H. Aloei Saboe. Goresan kalimat dedikasi khas empatpuluhan terpatri di dinding monumen di halaman Puskes merupakan prasasti pembangunannya. Dengan merenovasinya, kita telah melestarikan situs bersejarah, tidak seperti Tugu Perahu yang tinggal kenangan tanpa identitas.

Pelabuhan Tilamuta yang menjadi jalur transportasi Teluk Tomini harus direspons dengan peningkatan sarana dan prasarana. Yakin akan prospek teluk yang memiliki sekitar 90 pulau, Pemkab kini mengoptimalkan upaya pengembangan pelabuhan yang telah di rintis oleh pemerintah sebelumnya yang kabarnya sudah di garansi oleh Pelindo IV. Pembentukan Tim Percepatan dan lobi anggaran menunjukan konsen Bupati. Efek domino yang menguntungkan membuat masyarakat antusias menanti. Realisasi yang didambakan ini merupakan tinta emas dalam tekstual bab Boalemo.

Sudah saatnnya Pemerintah Kabupaten mengkaji “si Perda tebal” nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, karena dikhawatirkan nominal objek retribusi yang dikenakan saat ini tidak sesuai lagi dengan alas hukum yang masih aktif tersebut. Kata penyesuaian hanya eufemisme untuk mengelabui depresi makna. Menaikan tarif tidak pamali di lakukan asalkan Perda ataupun Perbub sudah di revisi, ini palunya.

Di musim masker saat ini harusnya kita membantu Bupati, bukan malah memungut masalah.
Perekrutan dan pelatihan Pegawai syara’ urgen dilaksanakan. Perangkat yang umumnya lansia, serta minimnya regenerasi menjadi krusial ketika mengkhawatirkan kuantitasnya. Krisis personil petugas pulasara jenazah mulai menggejala, juga petugas wanita yang belum terakomodir SK.

Fenomena ini adalah alarm darurat yang menuntut untuk segera disikapi. Kebijakan Pemda yang telah menaikan insentif bulanan merupakan berkah yang terkabul pada harapan yang mereka amini selama ini. Apalagi kalau kemudian pekerja mulia ini difasilitasi dengan perlindungan BPJS ketenagakerjaan, nikmat ini bagi mereka merupakan afeksi tingkat dewa.

Namun mengecewakan marwah profesi tersebut, fungsinya diabaikan oleh oknum yang kerap tidak memenuhi undangan tahlilan warga. Sikap yang tidak menghargai dan tidak amanah tentu tidak bisa di terima masyakat, paradoks dengan kearifan lokal adati wau adabu. Harmoni yang sudah mengakar dalam norma masyarakat to lipu lo Adati hula – hulaa to Saraa, Saraa hula – hulaa to Qur’ani. Catatan kronis untuk Bagian Kesra, evaluasi dan pembinaan sangat mendesak!.

Aksi copet yang mulai menyasar pengunjung Pasar Tilamuta, memaksa manajemen pengamanan harus di evaluasi. Untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan aktivitas pasar yang kondusif, kamera pengawas CCTV dibutuhkan guna mendukung tugas personil Satuan Polisi Pamong Praja. Inklusi ini untuk mencegah gelagat negatif patologi sosial.

Pelurusan dan pelebaran di beberapa ruas jalan arteri dan kehadiran jembatan iconic Haji Muhammad Soeharto yang eksotik telah menjadi maskot yang kemudian memperindah ibukota. Seindah panorama spektrum di cakrawala Pantai Bolihutuo yang ashiaap dinikmati santuy. Ragam fasilitas berstandar jempol yang tersedia di pantai pasir putih yang halus nan bersih ini akan memanjakan liburmu my sweety.

Inovasi Pemerintah Daerah di bidang transportasi darat merupakan manuver “Bapak infrastruktur” yang mendobrak dogma di kepala kita. Disebut manuver, karena status jalan bukan domain kabupaten. Miris jalan 4 lajur bypass tidak lagi membuat decak kagum pengguna jalan, karena keberadaan jembatan darurat yang cukup lama nirfaedah. Jembatan koneksi antar kabupaten di provinsi ini akhirnya di bongkar untuk di ganti, tapi penantian panjang yang menakar kadar sabar telah mengusik benak masyarakat.

Mungkinkah suara rakyat Dapil 6 tidak terdengar lagi di ruang aspirasi DPRD di bukit Botu?, ataukah suara lobi Boalemo sudah hilang dalam forum Musrenbangnas?. Ghosting bersama kepergian para birokrat yang telah pindah, karena terpaksa pergi?.

Nurani intelektual kita tidak akan komplain untuk kemudian mengakui, bahwa kompetensi mereka adalah andil sukses Boalemo. Pilu manakala hati merindukan keakraban yang dulu terjalin, berbakti bersama dalam satu nawaitu tanpa dikotomi. Jangan galau Bro, itu hanya akan melemahkan imun di tahun covid ini. Boalemo tidak akan endgame, karena Boalemo menyimpan banyak eksekutif muda yang professional, kita pernah memiliki Panglima rakyat miskin yang super, kita memiliki Panglima ASN yang genius, kita juga punya Panglima Forkot yang genial, bahkan kita memiliki Plt. Bupati yang inovatif dan kapabel. Bolo maapu bosque ….. kita tidak sedang menantang.

Kabupaten yang dianugerahi Pantai Ratu sepotong surga yang tersembunyi di Desa Tenilo Tilamuta, untuk periode ini mengusung 14 program unggulan. Salah satunya adalah program empati, yakni menaikan TOKD (kini TPP) sebesar 50% yang saat kampanye dulu dikatakan halu oleh para pencibir, lantaran dianggap muskil. Alhasil sentimen dislike tersebut kemudian di bantah oleh bukti, karena kampanye DAMAI bukan lip service. Walau sudah berubah nama, entah kenapa sebutan TOKD masih melekat di lidah ASN, mungkin ini efek gurih 50%.

Di akhir tulisan ini penulis menawarkan saran untuk melawan lupa dengan mengabadikan nama para tokoh pada fasilitas publik, yakni; 1.RSTN disarankan jadi RSU H. Iwan Bokings, 2.RS Paguyaman disarankan jadi RS H. Rum Pagau (kedua RS di bangun pada era masing – masing), 3.Gelora Pemuda disarankan jadi Gelora H. Nizam Dai (mantan Ketua DPRD pertama dan eks Ketua Askab PSSI Boalemo), 4. Pasar Tilamuta disarankan jadi Pasar H. Darwis Moridu, 5.Alun – alun Tilamuta disarankan jadi Alun – alun H. Anas Jusuf (kedua tokoh adalah duo Bupati Boalemo), serta beberapa figur lainnya yang layak di apresiasi, yaitu; Alm. MK. Dalanggo, H. La Ode Haimuddin, H. Lahmudin Hambali, H. Hardi Syam Mopangga, Oktohari Dalanggo, H. Karyawan Eka Putra Noho, Hj. Mardijah Ch. Jusuf, H. Hisyam Tambiyo, H. Abdullah Biya, Alm. AR. Abdjoel, Almh. Apipa Aminu, Alm. Habib Umar Alamri, Alm. KH. Muhammad Abubakar, Alm. Yusuf Manto, dan Alm. Saiful Hamid. Saran ini bukan sekedar perspektif penulis, empiriknya mereka telah berkarya, namun dedikasinya terlupakan dalam kisah yang tak diceritakan.

Tulisan ini di sadur dari kacamata masyarakat untuk kemudian sebagai sumbangsih masukan dalam membangun, karena #BoalemoTorang Pe Rumah.
Salam penulis, Dirgahayu Boalemo Damai Bertasbih.