Benarkah Kita Sudah Merdeka ?

(Oleh : Najid Lasale)

Di suatu malam yang dingin, hujan barusaja reda, disusul suara kodok yang saling sahut – sahutan. Angin berhembus pelan meniup dedaunan pohon mangga yang basah, airnya bercucuran membasahi tanah, namun tak mengganggu Pacul dengan aktivitasnya yang tengah asik menyeruput kopi hitam ditemani pisang goreng panas buatan sang istri.

“ah…! nikmatnya,”kata Pacul usai meneguk kopi dengan suasana hati yang senang

Pacul adalah seorang petani jagung. Sehari – hari ia menghabisakan waktu dengan bertani di lahan pertanian miliknya yang berukuran 2 Hektare (Ha) itu. Tiga hari lalu dia barusaja menanam lahannya, hatinya menjadi gembira, sebab hujan yang datang malam ini turut membasahi benih yang baru ditanamnya.

“Mudah – mudahan jagung saya bisa tumbuh subur,” do’a Pacul mensyukuri hujan yang turun ke bumi malam ini.

Di teras rumahnya itu Pacul duduk dengan suasana hati gembira. Dia memakai sarung kotak – kotak berwarna kehijauan yang ia lilitkan di pinggang, dan mulai menyalakan sebatang rokok untuk menemani kopi hitam dan pisang goreng yang masih panas di atas piring.

Tak berapa lama Godam datang bertamu. Bajunya sedikit basah terkena gemericik air hujan dari dedaunan pohon mangga yang tertiup angin. Wajahnya kusut, pikirannya sembraut, pusing, galau, seperti sedang memiliki pikiran berat. Pacul menyambutnya dengan ramah, lalu meminta istrinya untuk membuatkan kopi kepada Godam.

Godam mengelap air yang masih membasahi wajahnya. Dia duduk di kursi di samping Pacul dengan meja persegi panjang menjadi perantaranya. Godam memulai percakapan “Cul, bernarkah kita sudah merdeka ?” Tanya Godam, matanya tajam menatap Pacul. Pacul membeku, dia bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya itu. “Maksudnya gimana Dam ?” tanya Pacul memperjelas

Kepala Godam mengada ke langit. Dia pun mulai mencurahkan keresahan yang akhir – akhir ini dia rasakan. Sebentar lagi bangsa di Republik ini akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke- 80, pada 17 Agustus nanti. Namun Godam masih belum mengerti apa arti kemerdekaan sesungguhnya.

“Apakah kita sudah benar – benar merdeka ? apakah kita sudah 100% merdeka ? Kalau memang kita sudah merdeka, mengapa tanah kita diambil untuk kepentingan perusahaan tambang itu,” tanya Godam, nada bicaranya terdengar tegas

Mendengar pertanyaan Godam, Pacul langsung mengerti apa yang dirisaukan sahabatnya itu. “ahh…!” Pacul meneguk kopi. “Begini Dam, perusahaan itu kan melakukan investasi, dan investasi itu baik untuk kemajuan daerah kita ke depan,” ucap Pacul yang langsung disusul tatapan tajam dari Godam

Seperti biasa, Pacul memang menjadi teman diskusi menarik bagi Godam. Pacul selalu memiliki pikiran kontra denga apa yang dipikirkan Godam. Justru karena perbedaan pendapat inilah yang membuat Godam senang berdiskusi dengan  Pacul.

Satu – persatu kerisauan yang tersimpan dalam memori otaknya dia keluarkan. Godam mulai serius. “Kau tahu Cul, tidak hanya tanah kita yang akan dirampas. Tapi, sekolah Dasar tempat anak kita di didik, tempat kita sekolah dulu, juga akan diambil,” kata Godam

Godam melanjutkan pembicaraan dengan memberikan penjelasan. Akhir – akhir ini kata Godam, Siswa dan siswi di sekolah yang dia maksud, terusik dengan aktivitas perusahaan pertambangan tak jauh dari bangunan sekolah. Bunyi mesin hingga hentakan alat berat dan polusi udara yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan menggangu aktivitas belajar.

“Anakku sendiri yang bilang Cul. Katanya dia tidak fokus dengan pelajaran yang diberikan guru,karena terganggu,” kata Godam meyakinkan Pacul. Pacul sedikit mengangguk.

“Bahkan Cul yang aku dengar sekolah itu akan direlokasi,” ucap Godam sambil memegang gelas kopi di tangan kirinya.

Malam makin larut, suara jangkrik terdengar berisik menyela pembicaraan dua sahabat ini. Keduanya serius, hingga lupa membuang abu rokok ke dalam asbak yang disediakan di atas meja. Pacul paham apa yang disampaikan Godam. Namun dengan santai Pacul meminta Godam untuk tidak mempercayai informasi yang tidak jelas sumbernya.

“Soal keresahanmu Dam, aku paham. Tapi Dam, relokasi ini kan domainnya Pemerintah bukan swasta. Jadi tidak mungkin sekolah itu akan direlokasi, kecuali Pemerintah sendiri yang bilang begitu,” ucap Pacul menanggapi Godam

Sama seperti Godam, sebetulnya Pacul juga merasakan kerisauan yang sama ihwal arti kemerdekaan. Dulu kata Pacul, dalam situasi genting perjuangan, setelah perjuangan itu berbuah kemenangan, tanah – tanah kapitalis yang berhasil direbut, dibagikan kepada warga pribumi.

“Semua tanah asing kapitalis dibagi – bagi ?” Tanya Godam penasaran. “ Itu sebenarnya tanah kita yang kita usahakan dengan tenaga sendiri, lalu mereka datang merampas, sudah sepatutnya kita ambil kembali,” ucap Pacul serius

“Bagaimana kau tahu Cul ?” tanya Godam. “Tempo hari aku membaca buku yang ditulis Bapak Republik Tan Malaka, judulnya Muslihat, Politik dan Rencana Ekonomi Berjuang,”jawab Pacul

“Terus bagaimana dengan kondisi di daerah kita ? apakah kita harus merebutnya kembali ?” Tanya Godam dengan posisi duduk yang tegak, serius menatap Pacul. Pacul terdiam, asap rokok mengepul keluar dari bibirnya.

“Aku tak tahu Dam. Tanya ke Pemerintah kita, orang kecil seperti kita, orang yang tak bertitel seperti kita berdua, pikiran kita tidak akan berarti apa – apa. Serahkan saja kepada mereka Dam, mungkin Pemerintah punya solusinya,” jawab Pacul. Suasana menjadi hening, disusul tiupan angin yang mulai berhembus kencang.(*)

Catatan Penulis : Tokoh Pacul dan Godam dalam cerita ini adalah tokoh yang dituliskan Tan Malaka di dalam bukunya. Bersama tokoh lain, tokoh Pacul dan Godam dijuluki Tan Malaka sebagai para Pendakwa Modern.