POHUWATO,HARIANPOST.ID- Pohuwato adalah daerah yang memiliki potensi tambak terbesar di Provinsi Gorontalo. Tidak heran, pada tahun 2020 lalu Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP) yang dijabat Edhy Prabowo mendatangi Pohuwato guna melihat potensi dan produksi tambak yang ada.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Amrin Umar melalui Kepala Bidang Budidaya perikanan Hasim Mertosono, Rabu, 11 Juni 2025 mengatakan, saat ini di Pohuwato terdapat lebih dari 8.000 hektare (Ha) lahan tambak yang tersebar dari timur Paguat sampai ujung barat Molosipat, Popayato Barat.
“Setiap Kecamatan itu luasan tambaknya berbeda – beda dan yang terbesar itu ada di Kecamatan Randangan,”ujar Hasim
Dengan luasan tambak yang besar itu produksi budidaya perikanan yang diperoleh pun tidak sedikit. Hasim bilang hasil produksi tambak Pohuwato bisa mencapai puluhan ribu ton. Itu diketahui setelah Dinas Perikanan dan Kelautan melakukan pendataan kepada petani tambak yang melakukan produksi.
Di mana setiap enam bulan sekali, Dinas Perikanan akan merilis data produksi hasil tambak dan melaporkannya ke Kementerian Perikanan dan Kelautan.
“Terakhir tahun 2024, hasil produksi tambak Pohuwato itu di angka 20.000-an Ton, itu hasil produksi untuk semua komoditas,”terangnya
Namun sayang dengan produktifitas tambak yang terbilang tinggi itu, tak ada kontribusi dari sektor ini untuk pendapatan daerah. Dan memang menurut Hasim, Pemerintah Daerah tidak dapat memungut retribusi dari produksi tambak karena terbentur regulasi.
Berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya, dengan regulasi yang ada, Pemerintah Daerah kata Hasim bisa memungut retribusi untuk menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perikanan tambak. Bahkan saat itu target PAD untuk Dinas Perikanan dari sektor ini mencapai Rp 1 Milyar.
Namun seiring dengan keluarnya Peraturan Daerah baru (Perda), pihaknya kata Hasim tidak dapat lagi memungut retribusi dari sektor Perikanan tambak. Dan ini kata dia turut berdampak pada target PAD yang dibebankan ke Dinas Perikanan ikut berkurang menjadi Rp 400 juta.
“Dengan adanya regulasi baru itu, retribusi hanya bisa dipungut jika Pemerintah Daerah menyediakan tempat dan layanan seperti TPI. Sementara di tambak itu kan ketika mereka produksi sudah ada mobil untuk mengangkut hasilnya dan dibawa ke luar daerah, tidak lagi ke TPI,” terangnya
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, pada regulasi sebelumnya Dinas Perikanan dapat memungut retribusi setelah tambak tersebut berproduksi.
“Dulunya itu kita bisa pungut retribusi. Jika hasilnya itu 1 ton dengan harga jual misalnya Rp 1 juta, maka kita pungut retribusi 2, 5 persen dari penjual dan 2,5 persen dari pembeli. Kenapa begitu ? karena bahasa regulasinya begitu,”jelasnya
Dengan melihat tingkat produktifitas tambak yang terbilang tinggi tersebut, maka terdapat sekitar Rp 600 juta potensi PAD bersumber dari retribusi tambak yang hilang karena tidak bisa dimanfaatkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pohuwato.
“Kita tidak bisa mengejar itu (potensi PAD), karena memang tidak ada alasan untuk kita bisa memungutnya, regulasinya sudah mengamanatkan begitu,”jelasnya lagi.