Pagi yang sibuk di Ibu kota, para penduduk berpacu dengan waktu untuk segera bisa menjalankan aktivitasnya. Jalanan ramai, kendaraan roda dua, roda empat serta alat transportasi khas roda tiga, lalu – lalang di ramainya kota. Bunyi klakson kadang berisik, mengusik keramaian pagi ini di simpang empat, tempat lampu lalulintas berdiri. Mereka tak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuannya.
Di sepanjang jalanan ibu kota, bendera dan umbul – umbul tegak berdiri di badan bambu yang ditancapkan ke tanah. Kain berwarna merah – putih itu berkibar sombong saat tertiup angin.Sang Dwi – warna tampak berwibawa, gembira menyambut hari bersejarah, 17 Agustus.
“Lihatlah Di,” kata Pali menunjuk ke arah bendera Merah – Putih yang sedang berkibar. Udi yang asik memainkan ponselnya langsung mengalihkan pandangan melihat ke arah bendera yang ditunjuk Pali.
Berbeda dengan orang kebanyakan yang sibuk dengan aktivitas pekerjaannya, pagi ini Pali dan Udi, dua pria bersahabat ini tengah santai berbincang di warung kopi di tengah kota, tak jauh dari tempat lampu lalulintas berdiri. Mereka duduk berhadapan. Pali adalah seorang pedagang. Sedangkan Udi adalah seorang intelektual, tak main – main, saat ini dia berprofesi sebagai pendidik di salah satu perguruan tinggi ternama.
Masih memandang objek yang sama, bendera Merah –Putih, Pali langsung melontarkan pertanyaan kepada sahabatnya yang seorang intelektual itu. “Mengapa kita harus memasang bendera dan umbul – umbul saat akan menyambut HUT Kemerdekaan ?” Tanya Pali
Mendapat pertanyaan itu, Udi langsung menyimpan ponsel miliknya ke dalam tas kecil di atas meja, di samping gelas berisi kopi hitam. Tanpa harus berpikir keras dengan segala referensi dan teori buku yang diketahuinya, Udi langsung menjawab pertanyaan Pali. “ Mengibarkan bendera untuk menyambut HUT Kemerdekaan ini adalah bentuk nasionalisme,dengan begitu kita menunjukan bahwa kita cinta tanah air,” jawabnya
“Jadi, ukuran nasionalisme adalah memasang tiang bendera ? nasionalisme tiang bendera ?” desak Pali
Memang, Udi mengerti tak semua golongan dalam masyarakat paham dan mengerti arti nasionalisme. Kebanyakan masyarakat memasang tiang bendera saat menyambut HUT Kemerdekaan, bukan karena dorongan nasionalisme, tetapi karena mendapat imbauan dari pemerintah. Kepada Pali sahabatnya, Udi menerangkan bahwa memasang tiang bendera bukanlah satu – satunya tolak ukur bagi warga Negara, bahwa warga Negara tersebut cinta tanah air.
“Terus, selain memasang tiang bendera, bagaimana lagi kita menunjukan rasa nasionalisme ?” Tanya Pali. “Dengan mengabdi kepada bangsa, berperan aktif dalam kemajuan Negara, menghormati para pahlawan bangsa, serta banyak hal baik lagi yang bisa kita lakukan untuk menunjukan rasa nasionalisme,” urai Udi
Pali mendengarkan penjelasan Udi dengan seksama. Setelah meneguk kopi hitam yang masih hangat, Pali terpikir. “Apakah para pejabat yang memberi imbauan memasang tiang bendera itu juga memiliki jiwa nasionalisme ?” TanyaPali. “Ya tentu mereka memiliki rasa dan jiwa nasionalisme. Raga, waktu dan pikiran yang mereka habiskan untuk memikirkan dan menghadirkan kebijakan yang baik untuk masyarakat, itu adalah bentuk nasionalisme para pejabat,” jawab Udi serius.
Mendengar jawaban itu, Pali merasa tidak puas. Kepalanya menjadi berat, dahinya mengkerut. Dia teringat berita tempo hari yang dia baca di Media Online. Berita itu justru memuat hal kontra dengan sikap nasionalisme para pejabat yang diuraikan Udi.
“Jika benar para pejabat itu memiliki jiwa nasionalisme, berarti menaikan pajak untuk rakyat hingga 250 persen, membeli mobil dinas di tengah efisiensi anggaran, dan melakukan perjalanan dinas disaat rakyat susah, apakah itu juga bisa disebut nasionalisme ?” Tanya Pali penasaran
Udi tak menjawab. Seketika tangannya bergerak menuju gelas kopi dan meminum kopi yang mulai dingin itu. Dia hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Pali.(*)
Gorontalo, 7 Agustus 2025
Penulis : Najid Lasale