Hulawa Terancam, Pohuwato Sakit : Refleksi Atas Dampak Proyek Emas PGP

Oleh : Abdul Najid Lasale

Penulis Adalah Jurnalis dan Anggota Komunitas Literasi Maleo Institute

WACANA relokasi masyarakat desa Hulawa, Buntulia, Kabupaten Pohuwato, yang terdampak Proyek Emas Pani Gold Project (PGP) oleh PT Merdeka Copperd Gold, adalah masalah penting, tidak hanya untuk didiskusikan, tetapi menjadi tindakan yang harus dicegah agar tidak terjadi. Dianalogikan sebagai sebuah tubuh yang utuh, masyarakat Pohuwato tentu tidak ingin – Hulawa – bagian tubuh Pohuwato yang sedang sakit ini diamputasi, lalu menggantikannya dengan tubuh palsu. Ironisnya, saat ini, dengan mendiamkan masalah Hulawa, kita seperti sedang membiarkan proses amputasi itu dilakukan.

Hadirnya Proyek Emas PGP membuat Pohuwato, desa Hulawa khususnya, menjadi sakit. Kehidupan masyarakat yang awalnya hidup aman dan nyaman itu perlahan tergantikan dengan kerisauan tak berujung. Padahal sejak dahulu, menurut Ali Mobiliu (2021), Pohuwato adalah wilayah yang aman, memiliki potensi ekonomi yang melimpah, tanahnya subur dan hutannya yang lebat (Polodu), memiliki kekayaan flora dan fauna serta memiliki “harta karun” emas. Dengan kekayaan alam yang dimiliknya, tidak heran Pohuwato dikenal sebagai  The Hiden Paradise (surga tersembunyi).

Dan dalam kehidupan sekarang, dengan masuknya sejumlah investor termasuk PGP, Pohuwato menjadi daerah yang memberi andil besar terhadap perekonomian di Provinsi Gorontalo. Harus jujur diakui bahwa masuknya perusahaan tambang ini turut memberikan dampak besar bagi perekonomian daerah, terbukanya lapangan pekerjaan dan ikut berkontribusi bagi pembangunan daerah. Namun menjadi anomali, jika harus menerima dampak itu, tetapi dengan mengorbankan Hulawa dan masyarakatnya.

Potret Pertambangan Pohuwato

Menurut Arman et.al.(2025) Pohuwato yang kala itu masih dikenal dengan nama Pagoet memang terkenal dengan kekayaan mineralnya sejak Pohuwato masih berupa Distrik Pagoeat pada tahun 1890an. Saat itu ada dua perusahaan tambang Belanda Exploraite Syndicaat Pagoet dan Minjbouw Maat-sxhappij Tilamoeta yang menanamkan modal tambang . Exploraite Syndicaat Pagoet menggarap konsesi tambang di sepanjang aliran sungai Marisa dengan menanamkan modal sekitar1,2 juta gulden. Sedangkan Minjbouw Maat-sxhappij Tilamoeta menggarap tambang di Tilamuta, Boalemo saat ini, dengan modal 150 gulden.

Jauh sebelum itu, pada masa kekuasaan Raja Bumulo II, Pemerintahan Hindia Belanda mengikat perjanjian tentang kewajiban menyerahkan emas kepada kolonial sebagaimana perjanjian 1 Maret 1838 menyebutkan bahwa kewajiban penyerahan emas naik menjadi  100 ons setiap tahun dari masyarakat di wilayah Distrik Pagoeat. (Arman.et.al, 2025 : 96).

Potret pertambangan Pohuwato saat ini seperti sedang membawa kita dalam kondisi “Dejavu” ke Pohuwato masa lampau. Hari ini perusahaan tambang sedang menari – nari menikmati kekayaan mineral yang terkandung di tanah Hulawa. Sementara kondisi lain, masyarakat Pohuwato, termasuk masyarakat Hulawa yang bekerja sebagai penambang harus menyetorkan uang hasil emas ke oknum – oknum yang berlindung di balik nama baik institusi. Pani Gold Project menggantikan peran Exploraite Syndicaat Pagoet di masa lampau, sedangkan oknum – oknum ini menggantikan peran kolonial.

Pohuwato Tidak Butuh Perusahaan Tambang

Harus tegas dikatakan bahwa Pohuwato tidak membutuhkan perusahaan tambang. Mereka yang menyetujui perusahaan tambang untuk berinvestasi di Pohuwato adalah Pemerintah yang sama sekali tidak mewakili kepentingan masyarakat Pohuwato. Keyakinan kultural yang ditanamkan dan dibangun dengan argumentasi yang demikian rasional itu : bahwa hadirnya investor tambang ini adalah untuk pertumbuhan ekonomi melalui ekstraksi sumber daya alam, adalah alibi yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Masuknya perusahaan tambang di Pohuwato memang menuai pro – kontra. Dapat dikelompokan mereka yang mendukung perusahaan tambang ini beroperasi adalah, pertama :  mereka yang tidak terikat secara historis dengan hulawa dan pertambangan rakyatnya. Kedua : mereka yang mendukung perusahaan pertambangan ini tidak bergantung pada pertambangan rakyat dan pertanian, sebagaimana profesi yang dominan dilakukan masyarakat Hulawa dan masyarakat lingkar tambang. Ketiga : mereka yang berpendidikan tinggi cenderung mendukung aktivitas perusahaan ini lantaran menganggap perusahaan tambang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi para sarjana – sarjana yang memang membutuhkan pekerjaan.

Penguasa dan munculnya kelompok pendukung perusahaan tambang yang telah terhegomoni itu melupakah sistem sosial dan ekonomi yang tumbuh di masyarakat, bahwa tanpa perusahaan tambang pun ekonomi masyarakat Pohuwato akan berjalan baik – baik saja. Toh selama ini, kita tidak pernah mendengar ada masyarakat Pohuwato, Hulawa dan masyarakat lingkar tambang khususnya, mati kelaparan karena tidak diberi bantuan oleh perusahaan. Untuk apa perusahaan pertambangan hadir, jika pertanian dan emas hasil mendulang (mongayango) saja sudah bisa membuat masyarakat kita memenuhi kebutuhan sandang – pangannya ?

Mengurai Masalah

Sedikitnya ada empat masalah mencuat dari hadirya investasi pertambangan Pohuwato. Pertama : Masyarakat Hulawa yang terancam kehilangan ruang hidup. Proyek pertambangan yang menggangu aktivitas pendidikan di SDN 04 Buntulia, hutan desa Hulawa dialihfungsikan, hingga masyarakat yang terancam direlokasi adalah benih masalah yang kelak jika tidak dituntaskan masalah ini akan bertransformasi menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Pemerintah dan Pemerintah daerah harus memberikan kepastian akan nasib dan ruang hidup masyarakat Hulawa.

Solusi dari permasalahan ini adalah, hutan desa dikembalikan pengelolaannya kepada masyarakat, dan aktivitas yang menggangu siswa dan masyarakat Hulawa harus dihentikan. Dan kepastian akan nasib masyarakat Hulawa ini tentu berdasarkan RTRW hasil revisi. Jika RTRW hasil revisi itu mengembalikan hak – hak masyarakat Hulawa, itu artinya Pemerintah Daerah dan DPRD kita sedang membela rakyatnya. Namun jika RTRW hasil revisi itu jusru menguatkan wacana bahwa masyarakat Hulawa harus direlokasi, maka sebetulnya revisi RTRW itu dilakukan hanya untuk mengakomodir kepentingan perusahaan pertambangan.

Pemerintah tidak boleh mengambil jalan pintas dengan menyiapkan lahan baru untuk pembangunan sekolah dan rumah warga yang terdampak aktivitas Pani Gold Project. Toh jika jalan pintas ini dianggap adalah solusi, maka Pemerintah seperti sengaja melakukan amputasi kepada bagian tubuh sakit – yang tubuh tersebut sebetulnya masih bisa disembuhkan.

Kedua : jurang ketidakadilan antara Perusahaan tambang dan masyarakat penambang. Masalah antara masyarakat penambang dan Pani Gold Project juga masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian serius. Masih lekat dalam ingatan,insiden 21 September 2023,masalah ini muncul bukan saja karena soal pembayaran ganti rugi. Tapi akibat jurang ketidakadilan terhadap masyarakat penambang terlalu dalam. Masalah ini tidak bisa dianggap selesai hanya dengan proses pembayaran tali asih saja. Apalagi proses pembayaran tali asih sampai saat ini belum selesai.  Dalam permasalahan ini, tidak boleh ada dominasi hukum kepada Pani Gold Project daripada masyarakat penambang.

Ketiga : lingkungan rusak dan pertanian yang terancam. Terkait masalah pertambangan dan pertanian di Buntulia – Duhiadaa juga tidak bisa dianggap sepele. Masalah ini harus secepatnya mendapat solusi. Memang berbeda dengan daerah lain, dimana antara pertambangan dan pertanian adalah antitesa, sementara di Buntulia – Duhiadaa, pertanian dan pertambangan menjadi anomali, karena mereka yang bertani juga bisa dikatakan sebagian besar ikut melakukan pertambangan. Namun belakangan masalah muncul, kondisi pertanian sawah menjadi kurang produktif akibat material pasir pertambangan di wilayah hulu terbawa air dan masuk ke persawahan petani.

Ada dua aktivitas pertambangan di wilayah hulu : pertambangan oleh perusahaan dan pertambangan rakyat dengan menggunakan alat berat.  Untuk menjawab masalah ini, solusi jangak pendek yang bisa dilakukan adalah dua pihak dari penyebab yakni masyarakat penambang dan perusahaan tambang harus sama – sama bertindak menyelasaikan permasalahan yang dikeluhkan. Selanjutnya pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian harus mengambil peran dengan mendatangkan ahli untuk melakukan kajian atas permasalahan yang timbul dari aktivitas pertambangan terhadap pertanian sawah di Buntulia dan Duhiadaa. Tidak sampai di situ, petani yang menerima dampak langsung juga perlu mendapat ganti rugi atas biaya produksi yang dikeluarkan.

Keempat : ancaman bencana banjir akibat pertambangan. Paling pelik dari hadirnya pertambangan ini adalah ancaman bencana. Pemerintah Daerah melalui dinas terkait harus melakukan mitigasi akan potensi dan solusi bencana yang timbul dari dampak pertambangan di wilayah hulu. Pemerintah daerah dengan segala instrument pentingnya harus bisa melakukan kajian mendalam akan potensi bencana yang bisa timbul dari aktivitas pertambangan di Pohuwato.(*)