HARIANPOST (NASIONAL)- Pesta Demokrasi yang akan dilaksanakan 2024 nanti menurut Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ), Titi Anggraini, bakal lebih berat dilaksanakan oleh penyelanggara pemilihan dan peserta pesta demokrasi tersebut.
Sebab kata Titi, dilansir dari SINDOnews Ahad (03/01), desain Pilkada serentak nasional di seluruh wilayah provinsi dan kabupaten/kota saat ini berdasarkan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada serentak akan dilaksanakan pada November 2024.
“Artinya, pada tahun yang sama akan berlangsung tiga pemilihan langsung sekaligus, yaitu Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pilkada,” kata Titi dikutip dari SINDOnews.
Meskipun hari pemungutan suaranya tidak dilaksanakan bersamaan,kata dia, pelaksanaan tahapan dari ketiga pemilihan itu akan beririsan satu sama lain.
“Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, tentu hal ini akan sangat berat sekali bagi penyelenggara pemilihan, peserta dan juga pemilu,” Ujar Titi
“Bisa dibayangkan, penyelenggaraan tahapan pileg dan pilpres bersamaan saja bisa mengakibatkan jatuh ratusan korban jiwa dari petugas pemilihan, apalagi kalau beban itu ditambah dengan pilkada,” Ujarnya lagi
Menurut Titi pemilihan yang terlalu banyak bisa makin menjauhkan politik gagasan dan program dari para pemilih. Serta isu lokal bisa makin tenggelam oleh isu nasional, khususnya konteks pemilihan presiden.
Di sisi lain, pemahaman pemilih juga bisa terhambat karena terlalu banyak informasi dan calon yang berkompetisi, akibatnya bisa saja berdampak pada meningkatnya jumlah suara tidak sah seperti yang terjadi di Pemilu 2019.
“Di mana untuk pemilu anggota DPD ada hampir 19 juta suara yang tidak sah. Padahal Pemilu Anggota DPD kan relatif sederhana dan mudah marena menyediakan foto dari para calon,” katanya.
Melihat kondisi itu, Perludem sejak awal kata Titi telah merekomendasikan agar dilakukan normalisasi jadwal pilkada. Dia mengatakan, bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2022 dan 2023, maka tetap dilaksanakan pemilihan yang pemungutan suaranya pada 2022 dan 2023.
“undang-undang yang diperlukan untuk merevisi Pasal 201 ayat (8) UU No 10 Tahun 2016 tidak bisa segera disediakan untuk mengejar penyelenggaraan Pilkada pada 2022, maka bisa saja misalnya pilkada untuk daerah-daerah yang akhir masa jabatannya pada 2022 seperti DKI Jakarta, Aceh, Papua, Barat, dan Banten, pemungutan suaranya digeser bersamaan dengan daerah yang akhir masa jabatannya pada 2023, yaitu setidaknya pada Juni 2023,” Terangnya
Pilkada serentak nasional pada November 2024 nanti menurut dia terlalu berisiko. Baik dari sisi beban penyelenggaraan, kualitas pemilihan, maupun penetrasi politik gagasan dan program. Dengan begitu, normalisasi jadwal adalah pilihan yang bijaksana.
“Pilkada serentak nasional sebaiknya diselenggarakan pada Juni 2027 saja untuk seluruh daerah di Indonesia. Dengan demikian bagi kepala daerah hasil pilkada 2020 juga tidak perlu mengalami pemotongan masa jabatan secara ekstrim,” Usulnya.(Harpost)