Merebut Hati Rakyat yang Terlanjur Terluka

KAMPANYE Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang akan berlangsung sampai 10 Februari 2024 mendatang menjadi momentum bagi peserta pemilu, khususnya Calon Legislatif (Caleg) untuk bersaing meraih simpati masyarakat, dengan gagasan, visi dan misi yang akan dilakukan bila kelak diberikan amanah.

Dalam kampanye ini, Caleg beserta Partai Politiknya (Parpol) harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka mampu menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam hubungannya dengan komunikasi politik, Sigmund Neumann berpendapat bahwa partai politik merupakan perantara yang besar menghubungkan kekuatan – kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik lebih luas.

Baca Juga : Bumi Panua Pohuwato Mencekam

Tidak hanya harus meraih simpati masyarakat, lewat kampanye ini, caleg juga harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa keikutsertaan mereka (masyarakat ) dalam pemilu akan turut menentukan masa depan bangsa ini nantinya. Tugas ini bukan hanya menjadi tugas penyelenggara pemilu, tapi peserta pemilu juga harus memberikan edukasi politik kepada masyarakat pemilih. 

Apalagi di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Ada kekhawatiran, pasca insiden 21 September 2023 yang berakhir dengan dibakarnya kantor Bupati Pohuwato, dikhawatirkan akan berdampak pada partisipasi pemilih di pemilu 2024. Secara sadar, insiden tersebut akan membentuk pola pikir masyarakat atau kelompok masyarakat, dalam hal ini kelompok masyarakat penambang yang menuntut hak – haknya, dan memberikan pandangan skeptis bahkan sinis kepada Pemerintah Daerah atau kepada wakil rakyat (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Pohuwato).

Ditambah lagi sebuah pernyataan yang dilontarkan wakil rakyat “you gak pilih saya kan” atas upaya – upaya memperjuangkan hak penambang juga pastinya turut mempengaruhi anggapan masyarakat terhadap wakil rakyat. Bukan tidak mungkin, pengalaman yang dialami kelompok masyarakat penambang ini akan membuat mereka apatis terhadap pemilu. Dampak terburuknya justru dikhawatirkan mereka bisa bersikap cuek pada Pemilu tahun ini.

Dalam hal partisipasi politik, ada beberapa jawaban yang memberikan alasan mengapa orang bersikap apatis. Pertama, mereka (masyarakat pemilih) tidak ikut pemilihan karena acuh dan tidak tertarik atau tidak paham mengenai masalah politik. Kedua, ada yang tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah (melalui pemilu) tidak akan berhasil. Ketiga, ada kemungkinan orang tidak ikut memilih karena berpendapat bahwa keadaan tidak akan berubah, siapapun yang akan dipilih tidak akan mengubah keadaan.

Pendapat- pendapat ini diperkuat dengan pengalaman lampau. Bahwa peserta pemilu cenderung lebih memikirkan bagaimana bisa terpilih, daripada memikirkan apa yang harus dilakukan setelah terpilih. 

Dengan berkaca kondisi yang ada di Pohuwato, caleg harus tetap berusaha merebut hati masyarakat, meskipun mereka terlanjur luka. 

Biar bagaimanapun itu, sikap apatis masyarakat akan berdampak pada partisipasi pemilih. Sedangkan, KPU Pohuwato sendiri sudah menargetkan partisipasi pemilih tahun 2024 naik di angka 90 persen dibanding tahun 2019 di angka 86.06 persen. Tugas ini bukan hanya menjadi tanggungjawab KPU, tapi menjadi tugas bersama, KPU dan peserta pemilu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *