Oleh: Jupri, SH.MH
Dosen Pidana Universitas Ichsan Gorontalo
Perkara Gorontalo Outer Ring Road (GORR) telah berjalan cukup lama. Pengadilan tindak pidana korupsi telah menyidangkan 4 (empat) orang terdakwa dengan berkar perkara terpisah. Sebelumnya majelis hakim telah menyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan terdakwa dari pihak Apraisal dan Kuasa Pengguna Anggaran terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meskipun demikian, dalam perkara GORR untuk para terdakwa menyisahkan tanya. Aprasail dinyatakan terbukti korupsi tanpa ada kerugian keuangan negara. Di saat yang sama, KPA yang didakwa melakukan korupsi Rp. 43 Miliar tetapi ternyata akibat kesalahan administratif berujung pada dobel pembayaran 3 bidang tanah sebesar kurang lebih Rp. 53 juta.
Menarik dari jalannya perkara GORR, setelah ada putusan para Apraisal dan KPA. Pihak Kejaksaan Agung dalam beberapa media menyatakan untuk memerintahkan pihak penyidik Kejaksaan Tinggi untuk menghentikan perkara GORR karena tidak adanya kerugian keuangan negara sebagaimana yang dakwakan. Walaupun toh pihak Kejaksaan tetap melimpahkan ke persidangan untuk terdakwa mantan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Gorontalo.
Pertimbangan Hakim Walhasil persidangan yang dimulai pada pertengahan tahun 2021 ini pun bergulir. Pada pembacaan putusan (4/11/2021) Majelis Hakim dalam amar putusan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukanlah tindak pidana, melainkan perbuatan adminitrasi.
Pertanyaan kemudian kok bisa? Adapun beberapa pertimbangan Majelis Hakim. Pertama, bahwa pembangunan Gorontalo Outer Ring Road merupakan gagasan saksi Rusli Habibie selaku Gubernur Gorontalo guna mengurai kemacetan dan mempercepat jalannya perekonomian di Provinsi Gorontalo. Kedua, Bahwa betul telah terjadi pergeseran anggaran yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo.
Ketiga, bahwasanya terkait Penetapan Lokasi (Penlok) yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Gubernur tanpa terlebih dahulu dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dinyatakan sah.
Dasar argumentasi dari Majelis Hakim adalah bahwa dokumen AMDAL dibutuhkan pada saat pembangunan jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR). Sedangkan dalam perkara ini, masih pada tahapan pembebasan lahan. Jadi sekali lagi masih sebatas membebaskan lahan bukan sudah pembangunan jalan GORR nya. Lebih jauh, majelis Hakim menekankan bahwa dokumen AMDAL bisa dilakukan belakangan bukan pada saat penetapan lokasi.
Oleh sebab itu, maka dapat ditarik kesimpulan Penetapan Lokasi (Penlok) yang diterbitkan oleh Gubernur Gorontalo sebagaimana kewenangannya adalah sah. Toh berdasarkan keterangan saksi dari konsultan AMDAL pun menyatakan demikian dan pembagunan jalan GORR telah memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Keempat, bahwa terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyatakan kerugian keuangan negara dilakukan oleh terdakwa sebagaimana dakwaan subsidaritas yakni Pasal 3 UU Tipikor tidaklah terbukti. Dasar argumentasinya bahwa perhitungan BPKP yakni kerugian keruangan negara Rp. 43 Miliar dinyatakan kabur dan patut dikesampingkan.
Penyebabnya karena BPKP dalam perhitungannya tidak melibatkan ahli hukum dan ahli agraria. Selain itu, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung menegaskan BPKP tidak berwenang “menetapkan” kerugian keuangan negara. Hal mana terkait kerugian keuangan negara haruslah nyata, Majelis Hakim menyandarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi.
Kelima, bahwa pertanggungjawaban pidana haruslah terpenuhi 2 unsur yakni niat jahat dan perbuatan. Atau lazim disebut mens rea dan actus reus. Dimana terdakwa betul melakukan suatu perbuatan yang melanggar Peraturan Presiden Nomor 71, tetapi bukan melanggar UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dimana pelanggaran berupa kelengkapan administrasi yang harus segera dilenkapi oleh PYB sebelum pembayaran ganti kerugian dilakukan. Olehnya majelis hakim berkesimpulan tidak adanya niat jahat dari terdakwa.
Putusan Lepas, Sebab tidak adanya niat jahat yang dilakukan terdakwa, akan tetapi unsur-unsur yang didakwakan terpenuhi. Maka majelis Hakim menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Hal mana dapat teori hukum acara pidana, dikenal 3 (tiga) bentuk putusan pengadilan. Pertama, putusan bebas. Dimana jika majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan (vide Pasal 191 ayat 1 KUHAP). Kedua, putusan lepas.
Dimana jika majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana seperti perbuatan administrasi atau perdata (vide Pasal 191 ayat 2 KUHAP). Terakhir, putusan pemidanaan. Dimana majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (vide: Pasal 193 KUHAP).
Bila dihubungkan dengan perkara yang diputus oleh Majelis Hakim Tipikor Gorontalo dalam perkara GORR. Maka secara tegas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) terhadap terdakwa. Merupakan bukti nyata bahwa perkara ini murni peristiwa administrasi.