GORONTALO, HARIANPOST.ID– Masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah dimulai sejak 28 November kemarin. Peserta Pemilu diberiwaktu selama 75 hari, hingga 10 Februari 2024 untuk mengkampanyekan dirinya kepada masyarakat pemilih.
Peserta pemilu khususnya calon legislatif (Caleg) harus menjual gagasan untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Bukan menjanjikan uang atau materi lainnya agar menarik minat pemilih. Cara seperti ini tidak bisa dibenarkan. Sudah jelas, bahwa money politik atau politik uang adalah virus dalam berdemokrasi. Para Pengkaji politik di Indonesia bahkan menyebut praktek money politik adalah korupsi dalam kaitan proses elektoral.
Money Politik adalah bentuk pidana dalam pemilu. Praktek tersebut selalu menjadi masalah yang ditemui dalam perhelatan politik. Namun sayangnya praktek money politik “ada, namun seolah tidak ada”. Bisa dilihat, dalam perhelatan pemilu dugaan money politik masih menjadi masalah yang sering dilaporkan. Tapi, hampir tidak pernah ada pelakunya yang diproses hukum. Nah, hal tersebut yang justru membuat praktek money politik seolah sudah menjadi hal biasa dalam setiap perhelatan politik.
Sebaiknya, masyarakat tidak memilih peserta pemilu yang menggunakan cara kotor seperti ini. Karena, kekuasan yang diperolah dengan cara tidak baik nantinya akan melahirkan kebijakan – kebijakan yang hanya menguntungkan dirinya, dan tidak berpihak kepada masyarakat.
Bagi pelakunya, money politik bukanlah cara kotor untuk memperoleh kekuasaan. Melainkan bagian dari investasi politik. Menginvestasikan uang untuk memperoleh kekuasan, setelah mendapatkannya pelaku money politik kemudian akan menggunakan kekuasannya selama lima tahun untuk mengganti uang yang ia kucurkan pada proses pemilu. Jika sudah begini, pada akhirnya masyarakat sendirilah yang dirugikan.
Sudah menjadi rahasia umum, bagi peserta pemilu (caleg) yang ingin mendapatkan kursi harus menyiapkan uang yang tidak sedikit. Biaya untuk memperoleh kursi sangat mahal harganya. Tapi meskipun mahal, masih ada caleg yang siap mengucurkan banyak uang untuk mendapatkan kursi dewan tersebut.
Misal, untuk meraih kursi di suatu daerah pemilihan (Dapil) membutuhkan minimum 2.000 suara. Untuk mendapat satu suara, caleg harus merogoh kocek Rp 150.000. Berarti, untuk mendapatkan 2.000 suara atau satu kursi, uang yang harus dikeluarkan caleg mencapai Rp. 300.000.000.,
Dalam investasi politik lain lagi. Jika untuk mendapatkan satu kursi membutuhkan minimun 2.000 suara, maka biasanya target biaya yang dikeluarkan caleg akan melampaui dari target minimum. Bahkan jika targetnya 2.000 suara, uang yang akan disiapkan bahkan bisa untuk 3.000 suara, dengan pertimbangan ada pemilih yang tidak benar – benar memilihnya. Maka dengan begitu uang yang dikeluarkan untuk 3.000 suara bisa mencapai Rp. 450.000.000.,
Jika dengan biaya mahal itu yang harus dikeluarkan untuk mendapat kursi dewan, lalu berapa gaji yang diperoleh oleh anggota dewan ? Misalnya gaji anggota DPRD Kabupaten/Kota. Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2017, gaji DPRD Kabupaten/Kota bisa dikisaran Rp. 28. 578.600 yang meliputi uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan, tunjangan reses, tunjangan perumahan, tunjangan komunikasi intensif, dan tunjangan trasportasi. Tapi perlu diingat bahwa nominal gaji DPRD Kabupaten/Kota di setiap daerah berbeda, tergantung kemampuan APBD Masing – masing.
Jika dalam sebulan gaji yang diterima DPRD Kabupaten/Kota mencapai Rp 28.578.600, maka dalam setahun gaji anggota DPRD Kabupaten/Kota mencapai Rp. 342.943. 200. Dengan demikian, dalam satu periode/lima tahun, gaji yang diterima bisa mencapai Rp. 1. 714.716.000., Jika dikurangi biaya investasi politik yang dikucurkan pada proses pemilu Rp 450.000.000, maka anggota dewan masih memiliki keuntungan hingga Rp 1.264.716.000.
Itu keuntungan yang didapatkan jika menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pastinya, yang didapatkan anggota DPRD Provinsi apalagi DPR RI jauh lebih dari itu. Investasi money politik dalam pemilu memang menggiurkan. Tapi sebaiknya jangan dilakukan.