Oleh: Fadli Thalib (Abna Alkhairaat Tilamuta)
ADA masa dalam hidup saya ketika suara dunia terasa begitu jauh. Tidak ada bising kota, tidak ada gemerlap hiburan, tidak ada kemudahan seperti di rumah. Yang ada hanya lantunan ayat suci, suara santri mengaji, dan dentingan sendok di dapur sederhana pondok. Itulah dunia saya selama enam tahun, dunia santri di Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta.
Saya masih ingat hari pertama mondok. Sore itu, langit Tilamuta agak mendung, udara terasa lembap, dan hati yang penuh campur aduk antara rindu rumah dan semangat baru. Sejak saat itu, saya memulai jalan sunyi, jalan yang akan membentuk menjadi manusia yang lebih utuh.
Santri dan Jalan Sunyi
Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat, di mana kemewahan, popularitas, dan gengsi sering dijadikan tolok ukur kesuksesan, menjadi santri kerap terlihat sebagai pilihan yang sunyi. Namun justru di balik kesunyian itulah tersimpan kekuatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang, kekuatan untuk menjaga moral, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, dan menyalakan peradaban dari ruang-ruang sederhana di pondok pesantren.
Santri bukan sekadar pelajar agama yang menuntut ilmu di pondok. Ia adalah simbol ketulusan, keteguhan, dan keikhlasan. Santri adalah penjaga nilai-nilai luhur bangsa dan agama yang berjuang tanpa pamrih, mengabdi tanpa tepuk tangan. Dalam dirinya, bersemayam semangat perjuangan dan cinta tanah air yang telah mewarnai perjalanan panjang Indonesia.
Menjadi santri adalah belajar hidup dalam kesunyian yang bermakna. Di pesantren, saya belajar menahan diri dari kenyamanan, dari kemewahan, bahkan dari keinginan untuk dikenal. Setiap hari dimulai dengan adzan subuh yang membangunkan tubuh dan hati, lalu diikuti bacaan kitab kuning, hafalan, belajar, hingga kerja bakti membersihkan halaman.
Kesunyian di pondok bukanlah kesepian, melainkan ruang perenungan. Dalam setiap hembus udara dingin waktu tahajud, dalam setiap lembar kitab kuning yang dibaca dengan tekun, seorang santri belajar tentang ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan.
Pesantren mengajarkan sesuatu yang jarang ditemukan di ruang akademik modern, adab sebelum ilmu, hormat sebelum paham, dan keberkahan sebelum pencapaian. Dari sinilah lahir karakter kuat, pribadi yang sabar, tawakal, dan istiqamah dalam pengabdian.
Dalam kesunyian pesantren, seorang santri menemukan dirinya. Ia belajar membagi waktu antara belajar, beribadah, dan berkhidmat kepada guru. Ia mengerti bahwa ilmu tidak untuk disombongkan, melainkan untuk diamalkan dan memberi manfaat.
Pondok Sekolah Kehidupan
Salah satu hal paling saya syukuri selama mondok di Alkhairaat adalah pelajaran tentang adab.Kami diajarkan untuk mencium tangan guru setiap kali berjumpa, untuk menjaga pandangan ketika beliau bicara, dan untuk mendahulukan hormat sebelum paham.
Di luar pondok, banyak orang berpendapat bahwa kecerdasan adalah ukuran utama manusia. Tapi di pondok, saya belajar bahwa adab adalah pondasi semua ilmu. Sebab ilmu tanpa adab hanyalah kesombongan yang dibungkus kepandaian.
Saya masih ingat bagaimana para guru meneladani kesederhanaan. Mereka tidak hanya mengajar di kelas, tapi juga menyapu halaman, membetulkan genteng bocor, dan menegur kami dengan kasih. Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi guru berarti melayani, bukan hanya mengajari.
Pondok bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Ia adalah madrasah kehidupan. Di pondok, santri belajar kemandirian, kerja keras, tanggung jawab, dan kebersamaan.
Santri tidak hanya diajarkan untuk memahami ayat-ayat Allah, tapi juga diajak menghidupkan nilai-nilai dalam keseharian, mencuci pakaian sendiri, memasak bersama, menjaga kebersihan, hingga berdisiplin dalam waktu. Semua itu membentuk karakter yang tangguh dan berjiwa sosial.
Guru Tua Cahaya Alkhairaat
Sebagai santri Alkhairaat, saya tumbuh dengan kisah dan nasihat dari pendiri kami, Al-Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua). Beliau bukan hanya pendiri pesantren, tetapi pendiri peradaban ilmu di timur Indonesia.
Syair-syair beliau sering menjadi semangat dan motivasi bagi santri Alkhairaat.
“Segala puji bagi Tuhanku, Alkhairaat menjadi marak,
Di halaman-halamannya terdapat singa-singa dan anak-anaknya”
Setiap kali kami mendengar syair itu, dada kami bergetar. Kami merasa sedang dipanggil untuk bangkit, untuk menjadi “singa-singa ilmu” yang tak kenal lelah menuntut pengetahuan dan menebar kebaikan.
“Kami adalah angkatan muda, pemimpin masa depan.
Dengan ilmu dan akhlak serta perilaku yang mulia,
Kami akan bangun bangsa dan negara.”
Bait-bait itu menjadi semacam doa yang hidup di setiap santri Alkhairaat. Ia mengingatkan kami bahwa belajar bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk umat dan bangsa.
Santri dan Tantangan Zaman
Kita hidup di zaman digital yang penuh dinamika. Informasi datang dari segala arah, begitu cepat dan sering kali tanpa filter moral. Budaya instan dan pencitraan seolah menggantikan nilai kesederhanaan dan keikhlasan.
Namun bagi santri, inilah medan dakwah baru. Menjadi santri di era digital berarti harus mampu menjaga jati diri di tengah arus perubahan. Santri harus melek teknologi tapi tidak kehilangan akhlak, harus aktif di media sosial tapi tetap santun dalam tutur kata.
Bayangkan bila setiap santri mampu menulis, berdakwah, dan menyebarkan ilmu di ruang digital. Dunia maya akan berubah menjadi taman ilmu dan kebaikan. Sebagaimana Gus Dur pernah mengingatkan:
“Santri adalah kekuatan moral bangsa. Jika santri baik, maka bangsa akan baik.”
Kalimat itu menjadi penegas bahwa peran santri tidak berhenti di dalam pagar pesantren. Santri harus hadir di tengah masyarakat, menjadi penyejuk di ruang publik, menjadi penebar cahaya di dunia digital yang kadang gelap oleh kebencian dan hoaks.
Menjaga Tradisi, Merangkul Perubahan
Salah satu keistimewaan pesantren, termasuk Alkhairaat, adalah kemampuannya menjaga tradisi sambil beradaptasi dengan modernitas.
Ketika banyak lembaga pendidikan kehilangan ruh kebudayaan, pesantren tetap teguh dengan nilai-nilai sanad, adab, dan kebersamaan, namun tidak menutup diri terhadap inovasi.
Santri masa kini dituntut tidak hanya memahami ilmu agama, tapi juga menguasai sains, ekonomi, politik, dan teknologi. Pesantren bahkan kini berkembang menjadi pusat kewirausahaan dan kemandirian ekonomi, tanpa meninggalkan nilai spiritualitas.
Menjadi santri berarti mampu berdiri di dua kaki, satu berpijak pada tradisi, satu lagi menapak di masa depan. Jalan sunyi santri bukan jalan mundur dari dunia, tapi jalan mulia untuk membangun dunia dengan cahaya nilai-nilai ilahi.
Sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pesantren dan para santrinya.
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy’ari adalah bukti nyata peran santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Dari pesantren-pesantren di Jawa hingga Sulawesi, berkobar semangat jihad fi sabilillah demi tanah air.
Santri tidak pernah menjadi penonton sejarah. Mereka pelaku, penggerak, dan penjaga api perjuangan. Dan kini, ketika bangsa menghadapi krisis moral, korupsi, dan disintegrasi sosial, semangat santri kembali dibutuhkan.
Santri adalah perekat bangsa, mereka membawa nilai kesederhanaan di tengah keserakahan, nilai kasih di tengah kebencian, dan nilai kejujuran di tengah kepalsuan.
Refleksi Setelah Enam Tahun
Enam tahun bukan waktu yang singkat. Enam tahun saya menempuh jalan sunyi itu, dari remaja hingga beranjak dewasa. Saya datang sebagai anak yang masih lugu, dan pulang sebagai manusia yang lebih mengenal arti hidup.
Saya belajar bahwa menjadi santri bukan sekadar menuntut ilmu, tapi juga menuntut diri sendiri untuk lebih sabar, lebih ikhlas, dan lebih berguna.
Pondok pesantren mungkin tampak sunyi dari luar, tapi di dalamnya ada kehidupan yang sangat bising oleh semangat, tawa, dan cinta kepada ilmu.
Akhirnya…
Menjadi santri berarti memilih jalan yang tak semua orang mau menapakinya. Jalan yang penuh disiplin, kesederhanaan, dan keheningan. Tapi di ujung jalan itu, ada cahaya yang tak pernah padam, cahaya ilmu dan ridha Allah.
Saya tidak menyesal memilih jalan ini. Justru di pesantrenlah saya menemukan arti kebebasan sejati. Saya percaya, santri bukan hanya penjaga agama, tapi juga penjaga peradaban. Dan selama santri masih ada, bangsa ini akan tetap punya harapan.
Selamat Hari Santri Nasional 2025. Untuk semua santri di mana pun berada, teruslah menapaki jalan sunyi ini dengan kepala tegak dan hati bercahaya. Karena seperti pesan Guru Tua, “Dengan ilmu dan akhlak, kita bangun bangsa dan bela tanah air.”








